AKU MUNAFIK


Kathleen Norris, dalam The Cloister Walk, bercerita tentang pengalamannya bergereja. Suatu ketika ia ditanyai seorang mahasiswa, mengapa ia terus pergi ke gereja dan bisa tahan menghadapi kemunafikan orang-orang kristiani. Ia merasa memperoleh ilham yang jitu, dan menjawab, "Satu-satunya orang munafik yang perlu saya cemaskan pada hari Minggu pagi adalah diri saya sendiri." Kathleen mengelakkan kecenderungan untuk mempersalahkan orang lain, dan memilih untuk berintrospeksi diri.

Sejak jatuh ke dalam dosa, manusia cenderung gampang melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Ia cepat melihat dan menghakimi pelanggaran orang lain, tetapi lamur terhadap pelanggarannya sendiri. Ketika dirinya yang melakukan pelanggaran, ia segera sibuk menuding orang lain sebagai penyebab pelanggarannya itu.

Tuhan Yesus menghardik sikap munafik semacam itu. Dia tidak mengajari kita untuk menutup mata terhadap pelanggaran, tetapi mengarahkan kita untuk memulai pemeriksaan dari tempat yang benar: dari diri kita sendiri. Kita masing-masing memiliki "balok'", kecenderungan untuk melakukan dosa dan pelanggaran. Kita perlu terlebih dahulu merendahkan diri dan meminta pertolongan Tuhan untuk mengeluarkan balok tersebut. Pandangan kita pun akan menjadi jernih, sehingga nantinya kita bisa menuntun saudara yang lain untuk mengeluarkan serpihan kayu dari matanya.

Hadapilah, oleh anugerah Tuhan dan ketaatan pada firman-Nya, dosa yang mencobai Anda. Kemenangan atas dosa itu akan memampukan Anda untuk menolong orang lain mengatasi dosa yang serupa.


1 Yohanes 1 : 8 - 9
Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.
Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.

DUSTA VS JUJUR

Fakultas kedokteran Temple University pernah mengadakan penelitian menarik tentang kebohongan. Mereka membentuk dua kelompok. Kelompok pertama diminta menceritakan sebuah kebohongan. Kelompok kedua diminta untuk berkata benar. Selama aktivitas itu, respons otak mereka dianalisa dengan mesin MRI. Hasilnya mencengangkan. Ternyata para "pembohong" mengaktifkan sembilan area di otaknya, sedangkan orang yang berkata jujur hanya memakai empat area. Untuk berdusta, ternyata otak bekerja dua kali lebih keras.

Berdusta itu mahal ongkosnya. Tidak hanya melelahkan otak, tetapi juga menambah dosa. Ananias dan Safira menanggung akibat serius akibat berdusta. Ini gara-gara mereka memberi persembahan dengan motivasi salah: ingin dapat nama. Meniru anggota jemaat lain, mereka pun menjual tanah, namun hasilnya hanya dipersembahkan sebagian. Ketika ditanya, mereka mengaku sudah memberi semuanya. Agar dikenal sebagai dermawan atau donatur utama gereja, mereka rela berbohong di hadapan Tuhan dan jemaat.

Godaan berbohong muncul saat kita ingin orang memandang kita lebih dari siapa kita sebenarnya. Lalu kita mulai membual. Mengarang cerita hebat tentang diri kita. Menampilkan kesan betapa rohaninya hidup kita. Betapa harmonisnya keluarga kita. Topeng tebal kita pakai, supaya dianggap "orang berkelas". Betapa melelahkannya hidup seperti itu.
Seorang pendusta akan dibenci Tuhan dan tak dipercaya sesama. Reputasinya bakal mati. Lebih baik, jujurlah tentang diri kita. Apa adanya. Anda tak perlu jadi orang hebat. Cukup jadi orang bersahaja.

Matius 5 : 37
Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.